Kumpulan kaidah fikih tentang ibadah
mahdhah. Ibadah dalam Islam, ada yang disebut sebagai ibadah
mahdhah ada juga disebut sebagai ibadah
ghairu mahdhah. Namun sebelum membahas maksud dari ibadah
mahdhah dan
ghairu mahdhah, terlebih dahulu didefinisikan pengertian ibadah.
Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari
segi istilah, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang
dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan yang
tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain,
ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas
dasar iman yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan mengharapkan ridha dan
ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu beribadah
kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan
pujian dari orang lain atau maksud-maksud lainnya.
Selanjutnya berkaitan dengan
mahdhah. Maksud dari ibadah
mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis ibadah yang termasuk ibadah
mahdhah
adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat,
shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah,
tajhiz al-janazah [penyelenggaraan jenazah].
Adapun ibadah
ghairu mahdhah adalah ibadah yang bukan murni
berhubungan secara langsung dengan Allah. Dalam istilah lain dikatakan
bahwa semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk
taqarrub ilallah, serta tempat dan waktunya tidak diatur secara rinci oleh Allah, maka itu disebut sebagai ibadah
ghairu mahdhah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah
ghairu mahdhah
adalah sedekah, infaq, membuang sesuatu yang dapat menghalangi orang di
jalan, belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong
royong, rukun dengan tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga
perilaku yang terpuji.
Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah
ghairu mahdhah adalah :
- Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang
melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya
tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh
dilaksanakan.
- Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama
seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan
bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya.
Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
- Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau
buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat,
semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika
menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung
keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak
boleh dilakukan.
- Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.
Khususnya dalam tulisan ini, yang difokuskan adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih [
qawaid al-fiqhiyyah] yang berhubungan dengan ibadah
mahdhah.
Kaidah-kaidah tersebut adalah :
۱. الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ
“
Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.
Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus
ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari
kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama
dengan kaidah di atas,yaitu :
الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“
Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.
Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap
ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang
menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW.
Karena ibadah
mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang
memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya
seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang
disebutkan sebelumnya.
Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk
menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari
yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung
mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat
hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain
termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan
dari Allah maupun Nabi.
Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah
mahdhah
tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang
memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan
pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya
Nihayatuz Zain
bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak
ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan.
Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk
ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها seperti yang telah
dibahas pada
artikel sebelumnya
bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah
yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya,
tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga
baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut.
Kendati demikian, saya juga mengakui bahwa apabila hanya mengandalkan
niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat,
maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang
sia-sia.
Berdasarkan adanya polemik ini, saya lebih cenderung untuk mengambil
jalan tengah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti
Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa
[4: 20]. Selain itu selama bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik ibadah
tersebut dilakukan tidak berbeda dengan bacaan-bacaan, gaya dan gerak
gerik seperti dalam ibadah
mahdhah, maka menurut hemat saya juga
bukan merupakan ibadah yang sia-sia. Begitu juga dengan amalan-amalan
yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya.
Satu hal yang membuat saya lebih cenderung dan mantap untuk membolehkan
ibadah yang tetapi tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah dan Nabi,
bahwa dengan melakukan ibadah tersebut tidak ada dampak yang
mempengaruhi kualitas iman seseorang kepada Allah dan tidak ada pula
dampak berupa penyakit yang timbul hanya karena melakukan ibadah
tersebut.
Berbeda halnya, apabila ibadah tersebut dilakukan akan membuat syirik
atau dilakukannya ibadah itu dapat menimbulkan penyakit, maka tentunya
tidak boleh dilakukan.
Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi
Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis.
Selanjutnya kaidah yang kedua adalah :
۲ .طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ.
“
Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.
Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari
hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak
ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti seseorang
yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari
wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan
batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat
dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti yang dikemukakan pada
artikel sebelumnya, yaitu :
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِاشَّكِ.
“
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Kaidah berikutnya adalah :
۳. التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا.
“
Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.
Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu
menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini
sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini
menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib
menyempurnakannya.
Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian ingin
melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia
berpuasa atau membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila
berdasarkan kaidah di atas, maka ia harus tetap berpuasa.
Akan tetapi karena adanya perjalanan [
safar] merupakan illah
hukum bolehnya [rukhsah] tidak berpuasa, maka seseorang tersebut
dibolehkan tidak berpuasa. Walaupun di dalam perjalanan tersebut tidak
ditemukan adanya kesulitan seperti yang terdapat pada kaidah
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ seperti pada
artikel sebelumnya.
Contoh lainnya tentang puasa. Misalnya seseorang ingin membayar puasa
ramadhan dan ketika di pertengahan puasanya, ia teringat bahwa pada hari
itu adalah hari senin, sehingga ia ingin juga menggabungnya dengan
puasa senin, maka orang yang dalam keadaan ini, tidak dapat mencampurkan
dua ibadah tersebut dan ia harus menyelesaikan pembayaran puasa
tersebut.
Kaidah selanjutnya :
٤. لَاقِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ الْمَعْنَى.
“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”.
Kaidah di atas adalah kaidah yang diperselisihkan di antara para ulama,
sebab ketentuan pokoknya yaitu qiyas juga menjadi perdebatan para
ulama. Kendati demikian, dalam artikel ini kaidah di atas tetap dibahas,
karena berkaitan dengan ibadah
mahdhah.
Maksud dari kaidah itu adalah untuk membatasi penggunaan qiyas. Qiyas
yang dimaksudkan di sini adalah rasional atau logika. Artinya segala
bentuk ibadah sebenarnya bisa saja dipikirkan dan dinalar karena
‘illah [motif timbulnya hukum] hukum ibadah tersebut dapat diketahui, namun karena ada pula
‘illah
hukum ibadah yang tidak bisa dinalar. Dengan demikian, maka ibadah ini
tidak bisa diqiyas [dinalar] sehingga diterima apa adanya.
Contohnya : shalat gerhana matahari atau gerhana bulan yang tidak dapat diketahui
‘illah hukumnya, sehingga para ulama pun melakukannya dengan
ta’abbudi. Begitu juga ketika shalat maghrib, dua raka’at pertama dengan
jahr [suara yang jelas], namun pada 1 raka’at yang terakhir dilakukan dengan
sirr [hanya kedengaran oleh diri sendiri].
‘Illah hukum kenapa raka’at terakhir dengan
sirr tidak dapat diketahui. sama halnya dengan 2 raka’at terakhir shalat Isya. Oleh karena itu, semua diterima secara
ta’abbudi.
Kaidah selanjutnya :
٥. تَقْدَيْمُ الْعِبَادَةِ قَبْلَ وَجُوْدِ سَبَبِهَا لَا يَصِحُّ.
“
Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.
Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum
tiba waktunya, waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus
dilakukan. Contohnya seperti shalat lima waktu, jika belum sampai
waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal tertentu,
misalnya menjamak shalat.
Kaidah berikutnya :
٦. كُلُّ بُقْعَةٍ صَحَّتْ فِيْهَا النَّافِلَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ صَحَّتْ فِيْهَا الْفَرِيْضَةُ.
“
Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.
Selama tempat tersebut bersih dan bisa digunakan untuk shalat, maka hal
tersebut boleh untuk melaksanakan shalat. Contohnya, boleh atau sah
melakukan shalat idul fitri atau idul adha di lapangan, maka sah pula
melakukan shalat fardhu di tempat tersebut, selama tempat tersebut
bersih dan suci.
Selanjutnya :
٧. الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.
“
Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.
Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam
masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang
lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya,
makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita
mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan
atau orang tua.
Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu
antrian [terlebih dengan yang sudah tua sekali], maka hal tersebut tidak
jadi masalah, selama kita tidak bergegas pula.
Kaidah berikutnya :
٨. الْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا.
“
Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.
Maksud dari kaidah ini, ada keterkaitan antara perbuatan ibadah
seseorang dengan tempat dan antara beribadah sendirian dengan berjamaah.
Contohnya, shalat di lingkungan ka’abah lebih utama di luar ka’bah,
namun apabila shalat di luar ka’bah secara berjama’ah maka lebih utama
dibandingkan dengan shalat di lingkungan ka’bah tapi sendirian.
Begitu juga shalat di luar ka’bah, apabila dilakukan secara berjama’ah,
maka lebih utama jika dibandingkan dengan sendirian. Hal ini sesuai
dengan hadis Nabi :
(صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. ﴿متفق عليه
“
Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (
Muttafaqun alaihi).
Selanjutnya :
٩. الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبِرَة وَالْحَمَّام.
“
Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.
Maksud kaidah di atas adalah dimana saja kita berada asalkan bersih dari
najis maka kita boleh melakukan shalat karena semuanya dianggap mesjid,
kecuali di kuburan dan kamar mandi.
Dilarangnya di kuburan, karena dikhawatirkan akan timbulnya anggapan
orang lain bahwa kita menyembah ke kuburan. Dilarangnya shalat di kamar
mandi, karena semua orang sudah mengetahui bahwa kamar mandi merupakan
tempat untuk membersihkan diri baik mandi atau pun buang hadas.
Timbul suatu pertanyaan, apakah boleh shalat di gereja? Berdasarkan
kaidah tersebut, dibolehkan melakukan shalat di gereja atau tempat
ibadah agama lain. Permasalahannya hanya kurang etis, selain itu
bertentangan pula dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan ”
Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.
Berikutnya :
۱۰. الْخَوْفُ يُبِيْحُ قَصْرَ صِفَةِ الصًّلَاةِ.
“
Kekhawatiran membolehkan qhasar shalat”.
Kaidah di atas dapat menjadi pegangan bagi seseorang, jika dalam suatu
keadaan yang mendesak, dibolehkan untuk melakukan qhasar shalat.
Contohnya, seseorang yang akan menuju suatu kota dan ia menumpang suatu
armada bus, saat transit di sebuah tempat, dan armada bus tersebut hanya
mampir sebentar, maka seseorang tersebut boleh mengqhasar shalat,
karena ditakutkannya akan ketinggalan bus tersebut.
۱۱. الْعِبَادَةُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوْزُ
فِعْلَهَا جَمِيْعِ تِلْكَ الْوُجُوْهِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا.
“
Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang
berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan
bentuk-bentuknya”.
Maksud dari kaidah ini adalah, banyak cara dalam melakukan satu macam
ibadah. Karena itu boleh memilih salah satu cara, bahkan yang mudah,
asal konsisten melakukannya, namun dalam suatu waktu, boleh menggunakan
cara yang lain, dan bahkan suatu waktu boleh juga menggabungkan
cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi.
Contohnya, boleh saja melakukan shalat dhuha dua rakaat, meski lebih
dari dua rakaat juga boleh, namun yang lebih bagus adalah yang dapat
membuat kita konsisten melakukannya. Suatu waktu bisa saja kita
melakukan lebih dua rakat. Sama halnya juga terkait dengan bacaan-bacaan
dalam shalat, misalnya doa iftitah yang kita ketahui ada berbagai
macam. Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Kaidah selanjutnya :
۱۲. الْجُزْءُ الْمُنْفَصَلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ.
“
Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut”.
Maksud dari kaidah di atas yakni, apabila ada salah satu bagian binatang
yang terpisah dari bagian tubuhnya yang masih hidup, maka yang terpisah
itu hukumnya seperti bangkai. Contohnya, seekor sapi yang kakinya
terpotong, maka hukum dari kaki tersebut adalah haram menurut kaidah di
atas, karena bagian lainnya masih hidup, sehingga yang terpisah itu
hukumnya sama seperti bangkai.
Kaidah berikutnya adalah :
كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَفَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ.
“
Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadhanya”.
Kaidah ini terkenal dilakukan oleh ulama Syafi’iyyah, sehingga apabila
ada kewajiban yang tertinggal dilaksanakan, seperti shalat wajib, maka
ia wajib mengqadhanya, kecuali untuk wanita yang meninggalkan shalat
karena haidh, maka kaidah ini tidak diberlakukan pada mereka.
Namun tidak sedikit juga ulama yang tidak menerapkan kaidah di atas,
sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal atau tidak dilakukannya,
maka kewajiban tersebut tidak bisa diqadha. Contohnya seperti tidak
adanya qadha untuk shalat wajib.
Khusus untuk puasa wajib di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bagi yang
meninggalkannya diwajibkan untuk membayar di hari yang lain di luar
bulan ramadhan dan termasuk pula wanita yang tidak berpuasa karena
haidh. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2: 184] :yang artinya :
Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.
Ada kaidah yang dipakai dalam kalangan Malikiyyah, tetapi pada mazhab lainnya tidak digunakan, yakni:
كُلَّ مَا يُفْسِدُ الْعِبَادَة عَمْدًا يُفْسِدُهَا سَهْوًا.
“
Setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkannya pula karena lupa”.
Kaidah di atas menunjukkan kehati-hatian dalam ibadah, apabila tidak
sengaja melakukan kesalahan karena lupa atau hal lain yang dapat merusak
ibadah, maka hal tersebut sama membatalkan ibadah tersebut. Contohnya
seseorang yang sedang berpuasa kemudian makan, maka puasanya batal,
walaupun makan itu karena lupa. Namun menurut mazhab ini ia tidak
berdosa.
Berbeda halnya dengan pendapat yang lain, lupa adalah salah satu unsur
yang dapat dimaafkan dalam ibadah, sebagaimana kaidah di bawah ini:
مَا لَايُمْكِنُ الْإِحْتِرَازِ مِنْهُ مَعْفُوٌ عَنْهُ.
“
Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.
Kalau kita lihat pada kaidah di atas, maka ketidaksengajaan tersebut
dapat dimaafkan. Selain itu, ada hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa “
Barangsiapa
yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka teruskan
puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.
Kaidah berikutnya :
۱۳. لَاتَجِبُ فِى عَيْنِ وَاحِدَةٍ زَكَاتَانِ.
“
Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.
Kaidah ini bermaksud, apabila dalam satu benda yang sama, maka zakat
yang dikeluarkan pun hanya sekali saja. Contohnya, seorang pedagang obat
yang jika harta kekayaannya ditaksir sudah cukup memenuhi wajib zakat,
maka zakat wajibnya hanya sekali setahun, meski kekayaannya sangat
melimpah. Tetapi apabila pedagang obat ini memiliki juga usaha yang lain
seperti memiliki perkebunan yang luas, maka ia diwajibkan juga berzakat
dari hasil perkebunan tersebut.
Kaidah yang terakhir adalah :
. مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ كُلِّ مَنْ تَلْزَمَهُ.
“
Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula
baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahinya”.
Maksud dari kaidah ini ialah, seseorang yang telah wajib zakat fitrah,
wajib juga mengeluarkan zakat bagi orang yang menjadi tanggungannya atau
tanggung jawabnya. Contohnya, Seorang ayah atau suami wajib
mengeluarkan zakat fitrah bagi anak-anaknya, selama anak tersebut masih
menjadi tanggungannya. Begitu juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk
isterinya. Semoga bermanfaat.
wallahu'a'lam bishshawab.