Sabtu, 17 Januari 2015

Pengertian qanaah
Qanaah berasal dari kata qāni'a-qanā'atan yang artinya merasa cukup atau rela. Sedangkan menurut istilah adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas apa yang telah dimilikinya serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang.

Seseorang yang memiliki sikap qanaah akan menerima dengan ikhlas semua pemberian Allah swt., dan senantiasa berpikir, Allah telah memberikan kenikmatan sesuai ukuran kebutuhan kita. Oleh karena itu, ia akan selalu bersyukur kepada Allah swt.

Sikap qanaah bukan berarti bertindak putus asa dalam mencari rezeki Allah. Manusia harus tetap berusaha mencari karunia Allah dengan cara-cara yang baik sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Adapun hasil dari usaha itu harus diterima dengan lapang dada seraya berserah diri kepada Allah swt.

> Manfaat qanaah dalam kehidupan pribadi
Dalam kehidupan pribadi setiap muslim, sifat qanaah dapat memberikan manfaat sebagai berikut,
1. Jiwa akan tenang dan tenteram.
2. Terhindar dari sifat tamak dan dengki.
3. Menimbulkan hati yang sabar dan penuh ketabahan.
4. Terhindar dari kekhawatiran dan keresahan.
5. Selalu puas terhadap nikmat yang diberikan Allah.
6. Sabar atas segala cobaan dari Allah.
>Manfaat qanaah dalam kehidupan bermasyarakat
Masyarakat akan menjadi baik jika dimulai dari kehidupan pribadi yang baik. Begitu pula manfaat qanaah dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya manfaat qanaah dalam kehidupan pribadi, otomatis dalam kehidupan bermasyarakat pun sifat qanaah akan bermanfaat. Di antara manfaat sifat qanaah dalam kehidupan bermasyarakat sebagai berikut,
1. Terjalin hubungan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Tercipta masyarakat yang senantiasa jujur satu sama lain dalam setiap perbuatan.
3. Terhindar dari sifat suka menyakiti dan memfitnah.
4. Terhindar dari sifat saling iri dan dengki.
Demikian bacaan mengenai Pengertian qanaah dan manfaatnya. Semoga kita sebagai umat Islam dan umat Rasulullah bisa menerapkan sifat qanaah dalam diri kita dan mengamalkannya. Dengan begitu insyaallah kita akan selalu senantiasa merasa dekat dengan Allah swt. Amiin.
 
sumber: http://nurulhedayat.blogspot.com/2014/06/pengertian-kanaah-dan-manfaatnya.html
Pengertian Ananiah
Ananiah atau Egois adalah perilaku yang selalu tidak mau tahu dengan kepentingan orang di sekitarnya. Egois juga dapat diartikan suatu sikap yang selalu mementingkan diri sendiri. Perilaku ini juga cenderung hampir sama dengan perilaku angkuh atau sombong. Sifat Ananiah akan mendatangkan kebinasaan bagi pemilik sifat tersebut. Ananiah termasuk sifat tercela yang harus dijauhi oleh setiap orang mukmin. Sebab, dapat menjerumuskan manusia kepada sikap individualistik (kesendirian) dan membuka jalan kepada sikap permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia.
Sifat Ananiah selanjutnya dapat menimbulkan sikap sombong. Kedua sifat ini, sama-sama tidak memperdulikan keadaan orang lain dan cenderung mementingkan urusannya sendiri. Orang yang memiliki sifat ananiah, selalu menilai sesuatu berdasarkan dirinya sendiri dan tidak memperdulikan orang lain. Sikap Egoisme sangat bertentangan dengan kodrat manusia. Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan sesamanya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, melainkan selalu mau untuk bekerja sama dengan orang lain. Allah SWT memerintahkan agar kita hidup untuk saling tolong-menolong dan memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."(QS. Al-Maaidah : 2)
Contoh Perilaku Ananiah dalam Kehidupan Sehari-hari
a. Tetangganya terkena musibah atau mempunyai hajatan, ia (pelaku perilaku ananiah) seolah-olah tidak tahu menahu dengan keadaan tetangganya itu
b). Dia (pelaku perilaku ananiah) sedang melakukan pekerjaan dan mengalami kesulitan. Kemudian temannya datang untuk membantunya, malah temannya itu ditolak bantuannya hingga dicaci maki.
3. Pada saa musyawarah untuk pemilihan ketua kelas di sekolah, kamu mengajukan usul atau saran yang kamu miliki. Akan tetapi, bukan berarti usul tersebut harus diterima oleh semua orang. Karena, untuk mencapai keputusan akhir (mufakat) harus berdasarkan kepentingan bersama.
Sikap seperti ini sangat dilarang di dalam agama Islam. Karena, akan menimbulkan bibit-bibit perpecahan di kalangan umat manusia.
Dan hingga Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada manusia lainnya."(HR. Bukhori)
Serta dalam Hadits lain yang artinya: "Barangsiapa tidak mementingkan urusan umat islam, maka tidaklah ia termasuk dari golongan mereka itu. Dan barangsiapa yang dalam sehari-hari tidak berlaku jujur kepada Allah, kepada rasul-Nya, kepada kitab-Nya, kemudian kepada imam (pemimpin) mereka dan kaum muslim, tidaklah ia dari mereka."(HR. Muslim)
Akibat dari Perilaku Ananiah
1. Sulit mendapatkan bantuan jika mendapatkan kesulitan
2. Termasuk bagian dari akhlak tercela (Akhlakul Madzmumah)
3. Dijauhi orang lain
4. Mudah menimbulkan sifat sombong dan angkuh
5. Dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Cara Menghindari Perilaku Ananiah
1. Senantiasa sadar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Hal ini tercermin dalam Pancasila sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
2. Menghargai pendapat atau saran dari orang lain
3. Senantiasa menyadari bahwa setiap manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing

sumber: http://al-islam.mywapblog.com/perilaku-ananiah.xhtml
Hasad ialah perasaan tidak senang melihat orang lain mendapatkan kenikmatan (kesenangan). Hasad dapat membuat seseorang mudah membuat dan menyebarkan berita yang tidak benar (kejelekan) orang lain yang tidak ada buktinya. Sifat hasad mudah membuat gosip (berita tidak benar) terhadap orang yang tidak disukainya. Sifat hasad dapat merusak kebaikan yang dimiliki seseorang. Nabi saw bersabda : اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ (رواه ابوداود) Artinya : “Dengki itu memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar” (H.R. Abu Daud) Firman Allah : أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا (النساء : 54) Artinya : Aaukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (Q.S. An Nisa’ [3] : 53) Firman Allah dalam surat Al Baqarah: 109 : وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة: 109) Artinya : “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al Baqarah [2] : 109) Sifat hasad dimanapun pasti ada yang memilikinya. Kadang kala sifat hasad yang dimiliki tersebut kurang disadari bahayanya bagi diri sendiri di kemudian hari. Orang yang memiliki sifat hasad merasa bangga kalau orang yang dibencinya dapat ia sengsarakan. Bahayanya sifat hasad : a. Menjatuhkan nama baik seseorang b. Memutuskan rasa persaudaran dengan sesama manusia c. Menimbulkan rasa permusuhan dengan orang lain d. Membuat hati tidak tenang dan tidak tenteram dalam menjalani kehidupan e. Dimusuhi oleh banyak orang Contoh Perbuatan Hasad a. Amir berangkat ke sekolah dengan sepeda barunya. Melihat Amir memiliki sepeda baru, Toni merasa tidak senang. Toni menghampiri sepeda milik Amir dan menggembesi kedua ban sepeda itu, ketika Amir meninggalkan sepedanya di tempat parkir. b. Toko milik Pak H. Kohar tidak pernah sepi dari pembeli. Ia selalu menyediakan barang dagangannya dengan kualitas yang baik dan harganya terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu juga P H. Kohar tidak pernah menipu kepada pembeli dan selalu bersikap ramah kepada siapa saja yang datang ke tokonya, baik kepada yang mau membeli atau sekedar mau hutang. Melihat keberhasilan Pak H. Kohar, Pak Tadi tidak senang dan merasa tersaingi, karena tokonya selama ini sepi dari pembeli. Ia berusaha agar tokonya ramai dan toko Pak H. Kohar sepi, maka ia datang ke dukun agar tokonya ramai sedangkan toikonya Pak H. Kohar sepi. Untuk menghindari sifat hasad dengan cara : a. Menyadari tentang bahayanya sifat hasad terhadap amal perbuatan kita b. Menyadari bahwa keberuntungan masing-masing orang tidak sama c. Mensyukuri atas nikmat yang diterimanya meskipun tidak sama yang dimiliki orang lain d. Menyadari bahwa kalau diri kita dibenci orang lain juga tidak merasa senang

sumber:http://alirobidio.blogspot.com/2013/03/pengertian-hasad.html

semoga kita dapat menghindari sifat iri dan dengki.Amin...
Namimah
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
Hukum dan Ancaman Syariat Terhadap Pelaku Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur    fitnah.”(QS.AlQalam:10-11)
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (HR. Al Bukhari)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir -ed).
Pelaku namimah juga diancam dengan adzab di alam kubur. Ibnu Abbas meriwayatkan, “(suatu hari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu berkata, lalu bersabda, “Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:
1.    Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2.    Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3.    Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4.    Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5.    Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.
6.    Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.
Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
Bagaimana Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
 Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah. Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan tidak memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat dikarenakan lisan yang tidak terjaga, “Allahumma inni a’uudzubika min syarri sam’ii wa min syarri bashori wa min syarri lisaanii wa min syarri maniyyii.” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku dan kejahatan maniku.)

sumber: http://yunushadi.blogspot.com/2014/09/a.html
Ghibah
Ghibah adl penyakit hati yg memakan kebaikan mendatangkan keburukan serta    membuang-buang waktu secara sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat krn kurangnya pemahaman agama kehidupan yg semakin mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi telepon misalnya juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini.
Hakekat Ghibah Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yg tidak disenanginya bila ia mengetahuinya baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan nasab tabiat ucapan maupun agama hingga pada pakaian rumah atau harta miliknya yang lain. Menyebut kekurangannya yang ada pada badan seperti mengatakan ia pendek hitam kurus dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong fasik munafik dan lain-lain. Kadangorang tidak sadar ia telah melakukan ghibah dan saat diperingatkan ia menjawab “ Yang saya katakan ini benar adanya!” Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas menyatakan perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau bagaimana bila yg disebut-sebut itu memang benar adanya padaorang yg sedang digunjing-kan beliau menjawab “ Jika yg engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut maka engkau telah melakukan ghibah dan jika yg engkau sebut tidak ada pada orang yg engkau sebut maka engkau telah melakukan dusta atasnya.”
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata gerakan tangan cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adl memberitahukan kekurangan seseorang kepadaorang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dgn tangannya yg menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas bersabda “Engkau telah melakukan ghibah!” Semisal dengan ini adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah karena di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.
Tak kalah meluasnya adl ghibah dgn tulisan karna tulisan adala lisan kedua. Media massa sudah tidak segan dan malu-malu lagi membuka aib seseorang yg paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yg seharusnya ditutupi perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.
Macam dan Bentuk Ghibah Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk yg paling buruk adl ghibah yg disertai dgn riya’ seperti mengatakan “Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yg tidak tahu malu semacam ini semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu.” padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain namun ia menggunakan ungkapan doa utk mengutarakan maksudnya. Kadang orang melakukan ghibah dgn cara pujian seperti mengatakan “Betapa baik orang itu tidak pernah meninggalkan kewajibannya namun sayang ia mempunyai perangai seperti yg banyak kita miliki kurang sabar.” Ia menyebut juga dirinya dgn maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk golongan orang-orang shalih yg selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yg lain misalnya mengucapkan “Saya kasihan terhadap teman kita yg selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan.” Ucapan semacam ini bukanlah doa krn jika ia menginginkan doa untuknya tentu ia akan mendoakannya dalam kesendiriannya dan tidak menguta-rakannya semacam itu.
Ghibah yg Diperbolehkan Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yg diperbolehkan yaitu yg dimaksudkan utk mencapai tujuan yg benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dgn ghibah. Setidaknya ada enam jenis ghibah yg diperbolehkan
Pertama Melaporkan perbuatan aniaya. Orang yg teraniaya boleh mela-porkan kepada hakim dgn mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adl perbuatan ghibah namun krn dimaksudkan utk tujuan yg benar maka hal ini diperbolehkan dalam agama.
Kedua Usaha utk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat seperti mengutarakan kepada orang yg mem-punyai kekuasaan utk mengubah kemungkaran “Si Fulan telah berbuat tidak benar cegahlah dia!” Maksudnya adl meminta orang lain utk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian maka ucapan tadi adl ghibah yg diharamkan.
Ketiga Untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya dgn mengucapkan “Ayah saya telah berbuat begini kepada saya apakah perbuatannya itu diperbolehkan? Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana cara mendapatkan hak saya?” Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi lbh selamat bila ia mengutarakannya dgn ungkapan misalnya “Bagaimana hukum-nya bila ada seseorang yg berbuat begini kepada anaknya apakah hal itu diperboleh-kan?” Ungkapan semacam ini lbh selamat krn tidak menyebutorang tertentu.
Keempat Untuk memperingatkan atau menasehati kaum muslimin . Contoh dalam hal ini adl jarh yg dilakukan para ulama hadits. Hal ini diper-bolehkan menurut ijma’ ulama bahkan menjadi wajib krn mengandung masla-hat utk umat Islam.
Kelima Bila seseorang berterus terang dgn menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan seperti minum arak berjudi dan lain sebagainya maka boleh menyebut seseorang tersebut dgn sifat yg dimaksudkan namun ia tidak boleh menyebutkan aib-aibnya yg lain.
Keenam Untuk memberi penjelasan dgn suatu sebutan yg telah masyhur pada diri seseorang. Seperti menyebut dgn sebutan si bisu si pincang dan lainnya. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan utk menunjukkan kekurangan seseorang. Tapi alangkah baiknya bila memanggilnya dgn julukan yg ia senangi.
Taubat dari Ghibah Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya orang yg melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Allah Ta’ala krn melakukan perbuatan yg jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yg harus diambil utk menghindari maksiat ini adl dgn taubat yg mencakup tiga syaratnya yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut menyesali perbuatan yg telah dilakukan dan berjanji utk tidak melakukannya lagi. Selanjutnya harus diikuti dgn langkah kedua utk menebus kejahatannya atas hak manusia yaitu dgn mendatangiorang yg digunjingkannya kemudian minta maaf atas perbuatannya dan menunjuk-kan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yg dibicarakannya mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya maka bagi yg melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dgn kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri utk tidak mengulanginya.
Kiat Menghindari Ghibah Untuk mengobati kebiasaan ghibah yg merupakan penyakit yg sulit dideteksi dan sulit diobati ini ada beberapa kiat yg bisa kita lakukan.
Pertama Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adl penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dariNya.
Kedua Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yg digunjingkannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali maka diambilkan dari timbangan kejahatan orang yg digunjingkannya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu niscaya seseorang akan berfikir seribu kali utk melakukan perbuatan ghibah.
Ketiga Hendaknya orang yg melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aiborang lain sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
Keempat Jika aib orang yg hendak digunjingkan tidak ada pada dirinya sendiri hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah krn Dia telah menghindarkannya dari aib tersebut bukannya malah mengotori dirinya dgn aib yg lbh besar yg berupa perbuatan ghibah.
Kelima Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya maka ia seperti orang yg makan bangkai saudaranya sendiri sebagaimana yg difirmankan Allah “Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yg lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yg sudah mati?”
Keenam Hukumnya wajib mengi-ngatkan orang yg sedang melakukan ghibah bahwa perbuatan tersebut hukum-nya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yg melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah.

sumber: http://yunushadi.blogspot.com/2014/09/a.html
Takabur berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru yangf artinya sombong atau membanggakan diri.Secara istilah takabur adalah sikap berbangga diri dengan beranggaan bahwa hanya dirinya beranggapan yang paling hebat dan benar dibandingkan orang lain.Takabur semakna dengan ta`azum,yakni menampakan keagungan dan kebesaranya.Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur di antaranya dalam ilmu pengetahuan,amal dan ibadah,nisab,kecantikan,dankekayaan.Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari.Firman Allah SWT pada surat QS.An-Nahl/16:29 yang artinya “maka masukilah pintu-pintu neraka jahanam,kamu kekal di dalamnya.Pasti itu seburuk-buruk tempat untuk orang yang menyombongkan diri.



Objek atau sasaran takabur dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu:
  1. Takabur kepada Allah SWTTakabur kepada Allah adalah keadaan seseorang yang tidak mengakui dan menerima kebenaran dari Allah.
  2. Takabur kepada Rasulullah
  3. Adalah seseorang yang tidak mau menaati apa yang di sunahkan Nabi Muhamad saw.              Takabur kepada sesama manusia karena mempunyai kelebihan.
Ada Firman Allah pada surat QS.An-Nisa 4:36 yang berbunyi:

“Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.


Disamping itu juga takabur dapat dibagi menjadi dua macam,yaitu takabur batini dan takabur zahiri.Takabur batini artinya sifat takabur yang tertanam dalam hati seseorang sehingga tidak tampak secara fisik.Adapun sifat takabur zahiri adalah sifat takabur yang dapat dilihat secara langsung dengan pancaindra.Adapun contoh-contoh perilaku takabur antara lain:
  • 1.Raja Fir`aun ialah raja takabur yang mengatakan bahwa dirinya adalah tuhan yang paling besar.Ia merasa mampu membuat orang lain menjadi apa saja,mematikan atau menghidupkannya.Tetapi akhirnya ia tenggelam di laut merah.Hal ini menunjukan bahwa fir`aun itu lemah.
  • 2.Qarun adalah seseorang yang paling kaya.Karena hartanya,ia menjadi takabur dan mempertuhankan hartanya.
  • 3.Kan`an pada zaman nabi Nua dan Abu Lahab Rasulullah.Apalagi pada zaman modern sekarang,banyak orang yang bersifat takabur.
Rasulullah bersabda “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan seberat zarah (seperti biji sawi)



Takabur termasuk penyakit hati,dan akhlak tercela. Setiap muslim harus menghindari sifat takabur. Ada beberapa cara untuk menghindari diri dari sifat takabur yaitu dengan cara mendekatkan diri pada Allah SWT,menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna,dan juga kita haarus mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita,serta menyadari sifat takabur adalah dosa besar dan menghalangi masuk surga.
Dengan demikaan, kita dapat mengambil hikmah dari bacaan di atas, agar kita tidak boleh bersifat takabur terhadap orang lain.

sumber: http://madingmansumpiuh.blogspot.com/2010/01/pengertian-dan-macam-takabur-kary-etri.html

Jumat, 16 Januari 2015

Kegiatan Ekonomi dan Siklus Aliran Pendapatan (Circular Flow of Income) - Bagian Pertama

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidaklah terlepas dari kegiatan ekonomi, yang mana kegiatan ekonomi tersebut memiliki dua faktor utama, yaitu penawaran (supply, S) dan permintaan (D, demand). Kedua faktor tersebut adalah saling berkaitan, di mana faktor jumlah permintaan mempengaruhi banyaknya penawaran dan sebaliknya.

Secara garis besar, terdapat dua belah pihak yang berperan dalam proses ini, yaitu rumah tangga dan produsen. Rumah tangga itu sendiri mencakup perorangan atau sekelompok individu, sedangkan produsen merupakan kumpulan individu yang memproduksi barang dan/atau jasa, yang mana terdapat kegiatan ekonomi dua sektor yang melibatkan berbagai pelaku ekonomi. Kegiatan ekonomi dua sektor tersebut meliputi corak kegiatan ekonomi sebagai berikut:

a. Corak kegiatan ekonomi subsistem

Kegiatan ekonomi ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak rumah tangga (household) dan produsen. Diagram siklus pendapatan (circular flow of income diagram) dari kegiatan ekonomi jenis ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Skema corak kegiatan ekonomi secara umum
Diagram di atas menggambarkan prinsip sederhana dari kegiatan ekonomi, yang mana perdagangan pada corak ini masih menggunakan metode barter (pertukaran barang).
b. Corak kegiatan ekonomi modern

Dalam corak kegiatan ekonomi jenis ini, penerima-penerima pendapatan (income receiver) menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk disimpan sebagai tabungan, yang mana tabungan ini dapat dialokasikan untuk pengusaha yang memerlukannya dalam investasi, yaitu untuk pembelian bahan baku usaha.
Diagram siklus pendapatan (circular flow of income diagram) dari kegiatan ekonomi jenis ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Skema corak kegiatan ekonomi modern

Selain kegiatan ekonomi dua sektor, terdapat kegiatan ekonomi tiga sektor dan empat sektor yang mana masing-masing memiliki karakteristik berikut:

1. Kegiatan ekonomi tiga sektor

Dalam kegiatan ekonomi jenis ini, selain pelaku-pelaku ekonomi dalam kegiatan ekonomi dua sektor, terdapat juga peranan dan pengaruh pemerintah dalam kegiatan perekonomian yang mana diagram siklus pendapatannya menjadi seperti berikut ini:

Gambar 3
. Skema kegiatan ekonomi tiga sektor

2. Kegiatan ekonomi lima sektor

Kegiatan ekonomi jenis ini tidak hanya melibatkan pelaku-pelaku ekonomi di dalam negeri saja, melainkan juga adanya interaksi dengan pelaku-pelaku ekonomi di luar negeri yang mana memiliki diagram siklus pendapatan sebagai berikut:
Gambar 4. Skema kegiatan ekonomi tiga sektor

Pada bagian kedua, penulis akan menjelaskan mengenai kegiatan ekonomi lima sektor (mengingat kegiatan ekonomi ini mencakup kegiatan ekonomi suatu negara secara keseluruhan) dan perinciannya.


Sumber: http://charleskkb.blogspot.com/2010/05/kegiatan-ekonomi-dan-siklus-aliran.html
Kumpulan kaidah fikih tentang ibadah mahdhah. Ibadah dalam Islam, ada yang disebut sebagai ibadah mahdhah ada juga disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Namun sebelum membahas maksud dari ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, terlebih dahulu didefinisikan pengertian ibadah.

Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain, ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau maksud-maksud lainnya.

Selanjutnya berkaitan dengan mahdhah. Maksud dari ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah [penyelenggaraan jenazah].

Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah. Dalam istilah lain dikatakan bahwa semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk taqarrub ilallah, serta tempat dan waktunya tidak diatur secara rinci oleh Allah, maka itu disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah adalah sedekah, infaq, membuang sesuatu yang dapat menghalangi orang di jalan, belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong royong, rukun dengan tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga perilaku yang terpuji.

Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :


  1. Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
  2. Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
  3. Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
  4. Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.

Khususnya dalam tulisan ini, yang difokuskan adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih [qawaid al-fiqhiyyah] yang berhubungan dengan ibadah mahdhah.

Kaidah-kaidah tersebut adalah :
۱. الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ

Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.

Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama dengan kaidah di atas,yaitu :

الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ

Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.

Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang disebutkan sebelumnya.

Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah maupun Nabi.

Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut.

Kendati demikian, saya juga mengakui bahwa apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia.

Berdasarkan adanya polemik ini, saya lebih cenderung untuk mengambil jalan tengah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Selain itu selama bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik ibadah tersebut dilakukan tidak berbeda dengan bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik seperti dalam ibadah mahdhah, maka menurut hemat saya juga bukan merupakan ibadah yang sia-sia. Begitu juga dengan amalan-amalan yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya.

Satu hal yang membuat saya lebih cenderung dan mantap untuk membolehkan ibadah yang tetapi tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah dan Nabi, bahwa dengan melakukan ibadah tersebut tidak ada dampak yang mempengaruhi kualitas iman seseorang kepada Allah dan tidak ada pula dampak berupa penyakit yang timbul hanya karena melakukan ibadah tersebut.

Berbeda halnya, apabila ibadah tersebut dilakukan akan membuat syirik atau dilakukannya ibadah itu dapat menimbulkan penyakit, maka tentunya tidak boleh dilakukan.

Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis. Selanjutnya kaidah yang kedua adalah :

۲ .طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ.

Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.

Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti yang dikemukakan pada artikel sebelumnya, yaitu :

الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِاشَّكِ.

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.

Kaidah berikutnya adalah :

۳. التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا.

Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.

Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.

Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian ingin melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia berpuasa atau membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila berdasarkan kaidah di atas, maka ia harus tetap berpuasa.

Akan tetapi karena adanya perjalanan [safar] merupakan illah hukum bolehnya [rukhsah] tidak berpuasa, maka seseorang tersebut dibolehkan tidak berpuasa. Walaupun di dalam perjalanan tersebut tidak ditemukan adanya kesulitan seperti yang terdapat pada kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ seperti pada artikel sebelumnya.
Contoh lainnya tentang puasa. Misalnya seseorang ingin membayar puasa ramadhan dan ketika di pertengahan puasanya, ia teringat bahwa pada hari itu adalah hari senin, sehingga ia ingin juga menggabungnya dengan puasa senin, maka orang yang dalam keadaan ini, tidak dapat mencampurkan dua ibadah tersebut dan ia harus menyelesaikan pembayaran puasa tersebut.

Kaidah selanjutnya :

٤. لَاقِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ الْمَعْنَى.

“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”.

Kaidah di atas adalah kaidah yang diperselisihkan di antara para ulama, sebab ketentuan pokoknya yaitu qiyas juga menjadi perdebatan para ulama. Kendati demikian, dalam artikel ini kaidah di atas tetap dibahas, karena berkaitan dengan ibadah mahdhah.

Maksud dari kaidah itu adalah untuk membatasi penggunaan qiyas. Qiyas yang dimaksudkan di sini adalah rasional atau logika. Artinya segala bentuk ibadah sebenarnya bisa saja dipikirkan dan dinalar karena ‘illah [motif timbulnya hukum] hukum ibadah tersebut dapat diketahui, namun karena ada pula ‘illah hukum ibadah yang tidak bisa dinalar. Dengan demikian, maka ibadah ini tidak bisa diqiyas [dinalar] sehingga diterima apa adanya.

Contohnya : shalat gerhana matahari atau gerhana bulan yang tidak dapat diketahui ‘illah hukumnya, sehingga para ulama pun melakukannya dengan ta’abbudi. Begitu juga ketika shalat maghrib, dua raka’at pertama dengan jahr [suara yang jelas], namun pada 1 raka’at yang terakhir dilakukan dengan sirr [hanya kedengaran oleh diri sendiri]. ‘Illah hukum kenapa raka’at terakhir dengan sirr tidak dapat diketahui. sama halnya dengan 2 raka’at terakhir shalat Isya. Oleh karena itu, semua diterima secara ta’abbudi.

Kaidah selanjutnya :

٥. تَقْدَيْمُ الْعِبَادَةِ قَبْلَ وَجُوْدِ سَبَبِهَا لَا يَصِحُّ.

Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.

Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum tiba waktunya, waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus dilakukan. Contohnya seperti shalat lima waktu, jika belum sampai waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal tertentu, misalnya menjamak shalat.

Kaidah berikutnya :

٦. كُلُّ بُقْعَةٍ صَحَّتْ فِيْهَا النَّافِلَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ صَحَّتْ فِيْهَا الْفَرِيْضَةُ.

Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.

Selama tempat tersebut bersih dan bisa digunakan untuk shalat, maka hal tersebut boleh untuk melaksanakan shalat. Contohnya, boleh atau sah melakukan shalat idul fitri atau idul adha di lapangan, maka sah pula melakukan shalat fardhu di tempat tersebut, selama tempat tersebut bersih dan suci.

Selanjutnya :

٧. الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.

Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.

Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua.

Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian [terlebih dengan yang sudah tua sekali], maka hal tersebut tidak jadi masalah, selama kita tidak bergegas pula.

Kaidah berikutnya :

٨. الْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا.

Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.

Maksud dari kaidah ini, ada keterkaitan antara perbuatan ibadah seseorang dengan tempat dan antara beribadah sendirian dengan berjamaah. Contohnya, shalat di lingkungan ka’abah lebih utama di luar ka’bah, namun apabila shalat di luar ka’bah secara berjama’ah maka lebih utama dibandingkan dengan shalat di lingkungan ka’bah tapi sendirian.

Begitu juga shalat di luar ka’bah, apabila dilakukan secara berjama’ah, maka lebih utama jika dibandingkan dengan sendirian. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi :

(صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. ﴿متفق عليه

Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (Muttafaqun alaihi).

Selanjutnya :

٩. الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبِرَة وَالْحَمَّام.

Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.

Maksud kaidah di atas adalah dimana saja kita berada asalkan bersih dari najis maka kita boleh melakukan shalat karena semuanya dianggap mesjid, kecuali di kuburan dan kamar mandi.

Dilarangnya di kuburan, karena dikhawatirkan akan timbulnya anggapan orang lain bahwa kita menyembah ke kuburan. Dilarangnya shalat di kamar mandi, karena semua orang sudah mengetahui bahwa kamar mandi merupakan tempat untuk membersihkan diri baik mandi atau pun buang hadas.

Timbul suatu pertanyaan, apakah boleh shalat di gereja? Berdasarkan kaidah tersebut, dibolehkan melakukan shalat di gereja atau tempat ibadah agama lain. Permasalahannya hanya kurang etis, selain itu bertentangan pula dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan ”Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.

Berikutnya :

۱۰. الْخَوْفُ يُبِيْحُ قَصْرَ صِفَةِ الصًّلَاةِ.

Kekhawatiran membolehkan qhasar shalat”.

Kaidah di atas dapat menjadi pegangan bagi seseorang, jika dalam suatu keadaan yang mendesak, dibolehkan untuk melakukan qhasar shalat. Contohnya, seseorang yang akan menuju suatu kota dan ia menumpang suatu armada bus, saat transit di sebuah tempat, dan armada bus tersebut hanya mampir sebentar, maka seseorang tersebut boleh mengqhasar shalat, karena ditakutkannya akan ketinggalan bus tersebut.

۱۱. الْعِبَادَةُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوْزُ فِعْلَهَا جَمِيْعِ تِلْكَ الْوُجُوْهِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا.

Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuknya”.

Maksud dari kaidah ini adalah, banyak cara dalam melakukan satu macam ibadah. Karena itu boleh memilih salah satu cara, bahkan yang mudah, asal konsisten melakukannya, namun dalam suatu waktu, boleh menggunakan cara yang lain, dan bahkan suatu waktu boleh juga menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi.

Contohnya, boleh saja melakukan shalat dhuha dua rakaat, meski lebih dari dua rakaat juga boleh, namun yang lebih bagus adalah yang dapat membuat kita konsisten melakukannya. Suatu waktu bisa saja kita melakukan lebih dua rakat. Sama halnya juga terkait dengan bacaan-bacaan dalam shalat, misalnya doa iftitah yang kita ketahui ada berbagai macam. Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.


Kaidah selanjutnya :

۱۲. الْجُزْءُ الْمُنْفَصَلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ.

Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut”.

Maksud dari kaidah di atas yakni, apabila ada salah satu bagian binatang yang terpisah dari bagian tubuhnya yang masih hidup, maka yang terpisah itu hukumnya seperti bangkai. Contohnya, seekor sapi yang kakinya terpotong, maka hukum dari kaki tersebut adalah haram menurut kaidah di atas, karena bagian lainnya masih hidup, sehingga yang terpisah itu hukumnya sama seperti bangkai.

Kaidah berikutnya adalah :

كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَفَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ.

Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadhanya”.

Kaidah ini terkenal dilakukan oleh ulama Syafi’iyyah, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal dilaksanakan, seperti shalat wajib, maka ia wajib mengqadhanya, kecuali untuk wanita yang meninggalkan shalat karena haidh, maka kaidah ini tidak diberlakukan pada mereka.

Namun tidak sedikit juga ulama yang tidak menerapkan kaidah di atas, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal atau tidak dilakukannya, maka kewajiban tersebut tidak bisa diqadha. Contohnya seperti tidak adanya qadha untuk shalat wajib.

Khusus untuk puasa wajib di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bagi yang meninggalkannya diwajibkan untuk membayar di hari yang lain di luar bulan ramadhan dan termasuk pula wanita yang tidak berpuasa karena haidh. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2: 184] :yang artinya :

Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Ada kaidah yang dipakai dalam kalangan Malikiyyah, tetapi pada mazhab lainnya tidak digunakan, yakni:

كُلَّ مَا يُفْسِدُ الْعِبَادَة عَمْدًا يُفْسِدُهَا سَهْوًا.

Setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkannya pula karena lupa”.

Kaidah di atas menunjukkan kehati-hatian dalam ibadah, apabila tidak sengaja melakukan kesalahan karena lupa atau hal lain yang dapat merusak ibadah, maka hal tersebut sama membatalkan ibadah tersebut. Contohnya seseorang yang sedang berpuasa kemudian makan, maka puasanya batal, walaupun makan itu karena lupa. Namun menurut mazhab ini ia tidak berdosa.

Berbeda halnya dengan pendapat yang lain, lupa adalah salah satu unsur yang dapat dimaafkan dalam ibadah, sebagaimana kaidah di bawah ini:

مَا لَايُمْكِنُ الْإِحْتِرَازِ مِنْهُ مَعْفُوٌ عَنْهُ.

Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.

Kalau kita lihat pada kaidah di atas, maka ketidaksengajaan tersebut dapat dimaafkan. Selain itu, ada hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka teruskan puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.

Kaidah berikutnya :

۱۳. لَاتَجِبُ فِى عَيْنِ وَاحِدَةٍ زَكَاتَانِ.

Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.

Kaidah ini bermaksud, apabila dalam satu benda yang sama, maka zakat yang dikeluarkan pun hanya sekali saja. Contohnya, seorang pedagang obat yang jika harta kekayaannya ditaksir sudah cukup memenuhi wajib zakat, maka zakat wajibnya hanya sekali setahun, meski kekayaannya sangat melimpah. Tetapi apabila pedagang obat ini memiliki juga usaha yang lain seperti memiliki perkebunan yang luas, maka ia diwajibkan juga berzakat dari hasil perkebunan tersebut.

Kaidah yang terakhir adalah :

. مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ كُلِّ مَنْ تَلْزَمَهُ.

Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahinya”.

Maksud dari kaidah ini ialah, seseorang yang telah wajib zakat fitrah, wajib juga mengeluarkan zakat bagi orang yang menjadi tanggungannya atau tanggung jawabnya. Contohnya, Seorang ayah atau suami wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anak-anaknya, selama anak tersebut masih menjadi tanggungannya. Begitu juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk isterinya. Semoga bermanfaat. wallahu'a'lam bishshawab.
 

Senin, 12 Januari 2015

A.           PENGERTIAN, HAKIKAT DAN FUNGSI IBADAH
a.    Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologi berasal dari kata bahasa Arab yaitu “abida-ya’budu-‘abdan-‘ibaadatan” yang berarti taat, tunduk, patuh dan merendahkan diri. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh dan merendahkan diri dihadapan yang disembah disebut “abid” (yang beribadah).[1]
Kemudian pengertian ibadah secara terminologi atau secara istilah adalah sebagai berikut :
1.    Menurut ulama tauhid dan hadis ibadah yaitu:
“Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepada-Nya”
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ibadah itu sama dengan tauhid. Ikrimah salah seorang ahli hadits mengatakan bahwa segala lafadz ibadah dalam Al-Qur’an diartikan dengan tauhid.
2.    Para ahli di bidang akhlak mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
“Mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyah dan melaksanakan segala bentuk syari’at (hukum).”
“Akhlak” dan segala tugas hidup[2] (kewajiban-kewajiban) yang diwajibkan atas pribadi, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga maupun masyarakat, termasuk kedalam pengertian ibadah, seperti Nabi SAW bersabda yang artinya:
“Memandang ibu bapak karena cinta kita kepadanya adalah ibadah” (HR  Al-Suyuthi).
Nabi SAW juga bersabda: “Ibadah itu sepuluh bagian, Sembilan bagian dari padanya terletak dalam mencari harta yang halal.” (HR Al-Suyuthi).[3]
3.    Menurut ahli fikih ibadah adalah:
“Segala bentuk ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
Dari semua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat ditarik pengertian umum dari ibadah itu sebagaimana rumusan berikut:
“Ibadah adalah semua yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya.”
Pengertian ibadah tersebut termasuk segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya (ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut dengan muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma’qulat al-ma’na), seperti shalat, baik yang berhubungan dengan anggota badan seperti rukuk dan sujud maupun yang berhubungan dengan lidah seperti dzikir, dan hati seperti niat. [4]
b.   Hakikat ibadah
Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian yang komprehensif menurut Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT berupa perkataan atau perbuatan baik amalan batin ataupun yang dhahir (nyata). Adapun hakekat ibadah yaitu:
1)   Ibadah adalah tujuan hidup kita. Seperti yang terdapat dalam surat Adz-dzariat ayat 56, yang menunjukan tugas kita sebagai manusia adalah untuk beribadah kepada Allah.
2)   Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah.
3)   Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
4)   Hakikat ibadah sebagai cinta. [5]
5)   Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang dicintai Allah).
6)   Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.[6]
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan, baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud.
c.     Fungsi Ibadah
Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut untuk beramal sholeh. Karena Islam adalah agama amal, bukan hanya keyakinan. Ia tidak hanya terpaku pada keimanan semata, melainkan juga pada amal perbuatan yang nyata. Islam adalah agama yang dinamis dan menyeluruh. Dalam Islam, Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata, yaitu amal sholeh yang dilakukan karena Allah. Ibadah dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga untuk mewujudkan hubungan antar sesama manusia. Islam mendorong manusia untuk beribadah kepada Allah SWT dalam semua aspek kehidupan dan aktifitas. Baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat. Ada tiga aspek fungsi ibadah dalam Islam.
1.    Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui “muqorobah[7] dan “khudlu[8]. Orang yang beriman dirinya akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Ia akan selalu berupaya menyesuaikan segala perilakunya dengan ketentuan Allah SWT. Dengan sikap itu seseorang muslim tidak akan melupakan kewajibannya untuk beribadah, bertaubat, serta menyandarkan segala kebutuhannya pada pertolongan Allah SWT. Demikianlah ikrar seorang muslim seperti tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Fatihah ayat 5

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.”
Atas landasan itulah manusia akan terbebas dari penghambaan terhadap manusia, harta benda dan hawa nafsu.
2.    Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya
Dengan sikap ini, setiap manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah anggota masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima dan memberi nasihat. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur'an ketika berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan juga dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. Contohnya:
Ketika Al-Qur'an berbicara tentang sholat, ia menjelaskan fungsinya: 
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[9]
Dalam ayat ini Al-Qur'an menjelaskan bahwa fungsi sholat adalah mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji dan mungkar adalah suatu perbuatan merugikan diri sendiri dan orang lain. Maka dengan sholat diharapakan manusia dapat mencegah dirinya dari perbuatan yang merugikan tersebut.
Ketika Al-Qur'an berbicara tentang zakat, Al-Qur'an juga menjelaskan fungsinya: 
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[10]
Zakat berfungsi untuk membersihkan mereka yang berzakat dari kekikiran dan kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap harta benda. Sifat kikir adalah sifat buruk yang anti kemanusiaan. Orang kikir tidak akan disukai masyarakat
zakat juga akan menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati pemberinya dan memperkembangkan harta benda mereka. Orang yang mengeluarkan zakat hatinya akan tentram karena ia akan dicintai masyarakat. Dan masih banyak ibadah-ibadah lain yang tujuannya tidak hanya baik bagi diri pelakunya tetapi juga membawa dapak sosial yang baik bagi masyarakatnya. Karena itu Allah tidak akan menerima semua bentuk ibadah, kecuali ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
Barangsiapa yang sholatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka dia hanya akan bertambah jauh dari Allah” (HR. Thabrani)
3.    Melatih diri untuk berdisiplin
Adalah suatu kenyataan bahwa segala bentuk ibadah menuntut kita untuk berdisiplin. Kenyataan itu dapat dilihat dengan jelas dalam pelaksanaan sholat, mulai dari wudhu, ketentuan waktunya, berdiri, ruku, sujud dan aturan-aturan lainnya, mengajarkan kita untuk berdisiplin. Apabila kita menganiaya sesama muslim, menyakiti manusia baik dengan perkataan maupun perbuatan, tidak mau membantu kesulitan sesama manusia, menumpuk harta dan tidak menyalurkannya kepada yang berhak. Tidak mau melakukan “amar ma'ruf nahi munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa menyelamatkannya dari siksa Allah SWT.

diambil dari: http://studi-agama-islam.blogspot.com/2013/10/pengertian-hakikat-dan-fungsi-ibadah.html